Poso Kota, Buletin Sulawesi – Hari-hari belakangan bangsa Indonesia menghadapi tantangan berat berupa munculnya ancaman atas keberagaman. Masuknya ideologi luar yang ingin mengganti Pancasila mulai nampak dari berbagai peristiwa aksi-aksi intoleran hingga gerakan terang-terangan yang ingin mengganti ideologi negara. Penyebaran paham ini bukan hanya menyasar warga biasa, namun juga sudah masuk kedalam tubuh pemerintahan sendiri. Wakil Bupati Poso, T Samsuri saat menghadiri seminar Pendidikan Kebangsaan di Poso, Rabu (27/9) lalu mengatakan, berdasarkan informasi dari Kementerian Dalam Negeri, diketahui ada lebih dari 9 persen aparat pemerintahan yang sikapnya sudah tidak sejalan dengan Pancasila.
“Saya harap di Poso tidak ada yang demikian”kata Samsuri. Dia menegaskan menjaga persatuan bangsa bukan hanya tugas pemerintah, peran masyarakat menjadi kunci agar bangsa kita bisa tetap bertahan dari berbagai serbuan ideologi lain yang ingin mengganti Pancasila. Namun apakah di Poso memang tidak ada pegawai yang tidak terpapar ideologi yang ingin mengganti Pancasila? Dikutip dari lama laman Okezone 22 Agustus 2017, kepala BNPT, Komjen Suhardi Alius mengatakan tidak ada daerah yang steril dari radikalisme. Mantan Kabareskrim ini mengatakan, jika tidak ada gerakan yang cepat hal ini sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia.
Indikasi masuknya paham anti pancasila bahkan juga sampai ke para mantan petinggi aparat militer dan keamanan kita. Mantan Danjen Kopassus Jenderal (purn) Agum Gumelar bahkan menyatakan sekitar 10 sampai 20 orang mantan petinggi militer dan Polri terpapar paham seperti yang diyakini oleh ISIS itu.
Menghadapi tantangan berat ini, Samsuri mengatakan, empat pilar kebangsaan yakni Pancasila, UUD 45, bhineka tunggal ika dan NKRI harus terus dirawat dan diamalkan oleh pemerintah dan masyarakat.
Gerakan menolak Pancasila di Poso sebenarnya sudah ada, yakni munculnya kelompok radikal bersenjata Majelis Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso yang pada Juli 2015 mendeklarasikan diri sebagai bagian dari ISIS yang ingin mendirikan negara khilafah di Indonesia. Bukan tidak mungkin Sisa kelompok yang masih terus bertahan didalam hutan ini memiliki simpatisan yang mendukung paham yang mereka perjuangkan, namun, meski banyak , kelompok ini lebih memilih diam.
Sosiolog Professor Tamrin Amal Tomagola mengatakan munculnya radikalisme bukan hanya dari masuknya paham itu ke kepala namun juga dari ketimpangan yang terjadi ditengah masyarakat, apalagi masih banyak masyarakat yang terpinggirkan oleh sistem politik maupun ekonomi yang dianut negara Indonesia, kondisi ini menyebabkan gerakan merongrong ideologi negara makin mudah dilakukan oleh kelompok tertentu.