Lore Selatan,Buletin Sulawesi- Bermodal area kaya kandungan emas seluas 15 ribu hektar tidak membuat desa Bulili, kecamatan Lore Selatan berubah menjadi hiruk pikuk layaknya, kelurahan Poboya, kota Palu yang kini sungainya tercemar merkuri. Masyarakat adat Bulili menetapkan aturan ketat dalam menggali emas ditanah mereka. Salah satunya menolak pihak luar, termasuk perusahaan yang hendak menguasai tanah desa.
Kepala desa Bulili, Arman Kaose mengatakan, hanya penduduk asli Bulili yang bisa menambang diwilayah mereka. Adapun diluar itu dilarang keras. Bahkan mereka yang sudah tinggal di desa karena menikah dengan orang Bulili, harus mendapatkan persetujuan dalam rapat desa sebelumnya baru bisa turut menggali emas. Dikatakan Kaose, upaya menguasai tanah desa yang kaya emas sudah pernah dilakukan oleh pemerintah tanpa melibatkan masyarakat dan pemerintah desa.
“Kami baru mengetahui kalau ada perusahaan yang sudah mendapatkan izin pada saat ada surat dari dinas pendapatan untuk mengingatkan perusahaan agar membayar kewajiban mereka. Disitu baru kami ketahui ternyata tanah desa kami sudah dikuasai perusahaan”kata Arman Kaose. Agar area itu bisa dipertahankan, pemerintah desa bersama dewan adat kemudian menetapkan secara resmi kawasan itu sebagai tanah adat. Sebelumnya tanah ini sejak dahulu memang merupakan tanah ulayat.Seberapa besar kandungan emas yang tersimpan didalam perut desa Bulili? hingga kini belum ada hasil penelitian resmi. Namun sebagai gambaran besarnya potensi emas yang ada didesa mereka, kades Arman Kaose mengatakan saat menggali sebuah lubang sebuah bongkahan emas murni seberat 2kilogram ditemukan.
Menariknya lagi, meski sudah ditambang sejak tahun 70an, hingga kini areal yang digali belum mencapai 1 hektar dari total luasan kawasan tambang emas itu. Masyarakat adat juga sudah memikirkan kelestarian ekologi, selain tidak menggunakan bahan kimia seperti mercuri, setiap penambang yang menggali berkewajiban menutup lubang yang mereka tinggalkan dan harus menanaminya dengan pohon.
Desa Bulili belajar benar agar desa mereka tidak tercemar seperti desa-desa lain yang akhirnya harus menanggung kerusakan dan ancaman pencemaran lingkungan. Pemerintah desa kemudian melakukan studi banding ke desa Poboya. Bukan hanya untuk melihat dampak kerusakan lingkungan akibat penggunaan bahan kimia. Studi banding itu juga untuk melihat dampak sosial yang timbul saat sebuah desa menjadi kawasan pertambangan.
“Kami belajar betul agar jangan sampai apa yang terjadi di Poboya kami alami disini. Itulah kenapa kami menolak perusahaan, atau orang luar yang tidak punya ikatan persaudaraan datang mau menambang disini. Biarlah kami tetap sebagai petani, menambang hanya sampingan saja “kata Kaose. Sikap ini terus dipertahankan masyarakat adat Bulili sebagai bentuk kedaulatan atas tanah mereka.
Emas menjadi salah satu hal penting bagi warga desa Bulili. Hingga kini, sebagian masyarakat desa menyimpan emas hasil tambang diirumah. Emas ini menjadi semacam pusaka yang melambangkan kekayaan tanah desa Bulili yang terus terancam oleh keserakahan perusahaan-perusahaan yang berusaha masuk dengan menggunakan tangan pemerintah daerah, sebagaimana pengalaman desa Bulili sejak tahun 2012 lalu dimana tiba-tiba ada perusahaan yang mengklaim mendapatkan izin eksplorasi dari pemerintah, sementara masyarakat sebagai pemilik tanah tidak mengetahuinya padahal segala dampak negatif yang timbul merekalah yang menanggungnya.