
Sebagai hewan yang dilindungi, Tarsius yang dalam bahasa Poso disebut Tangkasi ternyata punya habitat di pinggir kota Poso, tepatnya di desa Maliwuko, sekitar 6 km sebelah Selatan kota Poso. Hewan bermata belo ini kerap dilihat warga. Bulan Juli lalu, seorang warga desa ini menyerahkan primata pemakan serangga itu ke pihak kepolisian. Kesadaran masyarakat yang sudah cukup baik membuat keberadaan kawanan Tarsius di hutan pinggir desa bisa bertahan sampai saat ini. Namun pendapat lain menyebutkan bisa jadi keberadaannya dipinggir kampung karena habitat mereka dihutan makin mengecil karena aktifitas pembukaan hutan untuk perkebunan.
Maliwuko, Buletin Sulawesi – Sulawesi Tengah merupakan salah satu wilayah yang memiliki ekosistem hutan yang menjadi habitat dari Primata terkecil di dunia yaitu Tarsius. Dari 11 Jenis Tarsius yang hidup di Pulau Sulawesi, tiga diantaranya berada di hutan-hutan primer khususnya yang masuk dalam wilayah Taman Nasional Lore Lindu maupun Cagar Alam.
Uni Internasional Untuk Konservasi Alam (IUCN) masih menempatkan Tarsius pada kategori rentan. Sementara oleh pemerintah Indonesia sendiri ke 11 jenis Tarsius di Pulau Sulawesi itu dalam kategori satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa serta Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem.
Tarsius bertubuh kecil dengan mata yang relatif lebih besar dari tubuhnya, tiap bola matanya berdiameter sekitar 16 mm, dengan mata yang berukuran sangat besar sebagai pengembangan kemampuan menemukan makanan di malam hari Tarsius bisa memutar kepalanya 180 derajat kearah manapun untuk melihat mangsanya.
Primata ini memiliki panjang kepala dan tubuhnya 10 sampai 15 centimeter, namun kaki belakangnya hampir dua kali panjang tubuhnya, memiliki ekor yang ramping dengan panjang 20 hingga 25 centimeter. Tarsius merupakan hewan nokturnal atau aktif dimalam hari untuk mencari makan berupa serangga dan vertebrata kecil seperti ular dan cicak. Mereka berburu dengan melompat dari satu cabang pohon ke cabang pohon lainnya, di daerah jelajah mereka seluas 1 hingga 2 hektar di sepanjang malam dan kembali ke sarang di pepohonan menjelang pagi.
Selama ini Tarsius identik dengan satwa endemik yang berada di wilayah kawasan Taman Nasional Lore Lindu, sekitar 6 jam perjalanan darat dari Poso Kota, atau 5 jam dari Kota Palu. Namun ternyata satwa ini tanpa di sadari juga memiliki habitat di sekitar perkampungan masyarakat seperti halnya yang ditemukan di desa Maliwuko, kecamatan Lage kabupaten Poso yang hanya berjarak 7 KM dari pusat Kota Poso. Masyarakat setempat umumnya lebih mengenal satwa itu dengan nama lokal Tangkasi.
“Kalau disini, kami mengenalnya dengan nama Tangkasi, biasanya jam-jam enam sore itu suara mereka terdengar di hutan sekitar sini, begitu pula jelang pagi” Kata Simon Lapangoyu, Kepala Desa Maliwuko “Biasanya hewan ini ditemukan di pohon bambu, atau pohon jati, mereka aktifnya di malam hari” tambahnya.
“Kalau mau dengar suaranya itu di sana disekitar pohon sagu, dekat sungai” Kata ngkai Mail, yang juga warga desa Maliwuko.
Sekitar bulan Juli 2017 seekor Tarsius sempat ditemukan warga saat ada aktifitas pembukaan jalan ke lokasi pembuatan lapangan sepak bola desa Maliwuko, Tarsius itu kemudian di serahkan ke pihak Kepolisian Resort Poso yang kemudian menyerahkan ke BKSDA Sulawesi Tengah.
Menurut Simon Lapangoyu, tidak seluruh masyarakat di desanya mengetahui bahwa Tangkasi di Maliwuko merupakan hewan di lindungi di Indonesia “Memang ada yang menangkap dan memelihara hewan ini, namun itu semata-mata karena yang bersangkutan tidak mengetahui bahwa Tarsius di lindungi, olehnya kami akan berkoordinasi dengan pihak terkait yang berwenang untuk bagaimana penanganannnya”
Tasliman kepala Seksi 2 Poso pada Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah mengatakan di Sulawesi Tengah tercatat ada 3 jenis Tarsius yaitu Tarsius Dentatus, Tarsius Lariansis yang hanya berada di sepanjang aliran sungai Lariang dan Tarsius Pumilus. Dari ketiga jenis Tarsius itu, Tarsius Pumilus sempat dikuatirkan telah punah sebelum keberadaannya kembali ditemukan di gunung Rore Katimbu yang berada di perbatasan Kabupaten Poso dan Kabupaten Sigi dalam sebuah penelitian di tahun 2013 silam. Selain ketiga jenis itu, di Pulau Sulawesi masih terdapat delapan jenis Tarsius lainnya termasuk dua spesies yang diumumkan pada Mei 2017 dengan nama Tarsius spectrumgurskyae dan Tarsius supriatnai.
“Kami sudah dapat laporan mengenai dugaan keberadaan Tarsius di desa Maliwuko dan memang rencananya kami akan mensurvey lokasi di desa tersebut yang dilaporkan keberadaan Tarsius, sekaligus untuk melakukan sosialisasi status hewan ini dan apa manfaatnya bagi manusia” kata Tasliman.
Di jelaskan oleh Tasliman dalam rentang waktu 8 tahun terakhir ada kecenderungan peningkatan populasi Tarsius, meskipun belum dilakukan pendataan jumlah pasti dari primata itu, tapi indikasi itu berdasarkan pengamatan di kawasan-kawasan konservasi yang ada. Peningkatan populasi Tarsius ini dikatakannya juga karena kesadaran masyarakat yang tidak lagi menganggap Tarsius sebagai hama yang merusak hasil kebun, karena ia hanya memakan serangga atau vertebrata kecil seperti ular dan cicak.
“Kalau dulu Tarsius sempat dianggap hama, tapi sekarang karena sudah banyak masyarakat sudah paham Tarsius ini malah dia membantu masyarakat sebagai satwa predator, sehingga sekarang masyarakat ikut membantu untuk melindunginya, makanya penyebarannya Tarsius agak meningkat, karena hampir setiap saat kalau kita jalan kalau kita melewati hutan, suaranya itu masih sangat jelas kita dengar walaupun dia diluar kawasan”
Eslie Artaban Tamalagi pengamat Tarsius dari Komunitas Pecinta Satwa Tarsius Sulawesi Tengah menilai perlu perhatian serius dari pemerintah untuk melindungi habitat Tarsius dari aktivitas Pembukaan hutan untuk dijadikan areal perkebunan yang dilakukan masyarakat.
“Kalau di hutan Primer yang kita lihat biasanya ketika serangga masih banyak, hutan-hutan primer yang belum banyak dijamah oleh manusia, itu mereka tidak butuh area yang luas tetapi ketika okupasi oleh masyarakat yang besar sekarang ini yang membuat mereka mereka harus beradaptasi sampai ada yang pernah kami temukan, mereka tidur di semak-semak, tidur di areal paling bawah dari lantai hutan, di areal yang estrem bagi mereka karena mereka adalah peloncat”
Pembukaan hutan menyebabkan Tarsius yang hidup secara berkelompok dalam satu keluarga semakin terdesak, keberadaan serangga yang berkurang serta terjadinya perkelahian diantara kelompok Tarsius karena ruang hidup mereka yang semakin kecil akibat pembabatan hutan.
Keberadaan Tarsius di Maliwuko yang diduga jenis Tarsius Dentatus itu memang masih perlu di verifikasi oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam Sulawesi Tengah meskipun sejumlah fakta berdasarkan hewan yang pernah ditemukan dan kesaksian warga masyarakat setempat maka patut diyakini bahwa Tarsius atau Tangkasi memang berada disekitar hutan di desa tersebut yang tidak jauh dari kebun-kebun masyarakat. Disisi yang lain tidak menutup kemungkinan keberadaan primata terkecil di dunia itu dapat menjadi potensi wisata lokal yang dapat mengundang kehadiran wisatawan serta peneliti dalam dan luar negeri untuk mengamati Tarsius.